Sabtu, 13 April 2013

Konsep Islam



Ilahiyah dalam Nahjul Balaghah

Agama Islam merupakan agama yang mengajarkan ajaran-ajaran Tauhid dan penyembahan pada tuhan yang satu. Seperti yang diketahui bahwa seluruh ayat-ayat Alquran dalam berbagai aspek pengetahuan memiliki ciri khas tersendiri dan materi Ilahiyah merupakan salah satu bentuk ejawantah dari ayat-ayat tersebut.

Kalimat Islam adalah kalimat tauhid dan seruan Islam dimulai dengan kalimat ini. Seluruh aturan-aturan yang ada dalam Alquran dan Islam ditujukan untuk supaya manusia mengenal Allah SWT dan hanya menyembah Dia semata-mata dan tidak menyembah selain Dia serta tidak tunduk dan menyerah kepada pemerintahan yang bukan berdasar pada aturan Ilahi dan hanya tunduk dan patuh kepada agama, ajaran, aturan dan syari’at Ilahi. Salah satu bentuk tauhid adalah pengakuan bahwa hanya Allah SWT yang berhak membuat aturan dan syari’at dan –selain Dia– tidak ada seorang pun yang berhak dan layak membuat aturan. Dan barang siapa meyakini dan mengakui bahwa  –selain Allah SWT– ada orang yang layak dan berhak membuat aturan dan hukum, maka orang tersebut telah dengan transparan menyatakan kemusyrikannya.


Makrifat dan mengenal Allah SWT dalam Islam didasari dan dibangun serta dilatarbelakangi dengan riset, tafakur, tadabbur dan Alquran telah berulang-ulang kali mengajak manusia untuk bertafakkur, bertadabbur. Di dalam Alquran banyak ditemukan ayat-ayat muhkam berkenaan dengan makrifat dan mengenal Allah SWT, diantaranya adalah:

Qs. Al baqarah ayat 163 dan 164:
Qs. Al an’am ayat 95-97:
Qs. Ar ra’du ayat 3 dan 4:
Qs. Rum ayat 21-23:
Qs. Az zari’at ayat 20 dan 21:
Qs. Al waqi’ah ayat 58 dan 59:
Qs. Al waqi’ah ayat 63 dan 64:

Logika yang digunakan Alquran dalam membahas persoalan-persoalan Ilahiyah adalah sangat luar biasa, sangat menarik dan tidak ada satu pun ungkapan seindah ini.

Logika tersebut merupakan sebuah mukjizat yang tak tertandingi dan telah banyak melahirkan serta mewujudkan monoteis-monoteis sejati, seperti Hamzah, Ja’far, Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar Yasir, Huzaifah dan para pejuang-pejuang Islam yang syahid dalam peperangan sepanjang sejarah Islam. Mereka mengenyam pendidikan dari Islam dengan melalui tahapan-tahapan dari ­ilmul yaqin, ‘ainul yaqin kemudian sampai pada tahap haqqul yaqin .

Ali bin Abi Thalib As. merupakan guru teladan Islam dalam bidang makrifat dan tauhid dan juga beliau adalah murid pertama Nabi Muhammad saw sekaligus orang pertama –setelah Nabi saw– yang mentauhidkan Allah SWT. Sejarah dan khutbah-khutbah beliau dalam kitab Nahjul Balaghah telah membuktikan bahwa tidak ada seorang mukmin pun dalam Islam yang memiliki ketauhidan yang lebih jelas, murni dan tangguh seperti Imam Ali As. Beliaulah yang pernah mengungkapkan statemen berikut ini:

“seandainya tirai dan hijab pun dibukakan untukku, maka keyakinanku pun tak akan bertambah”

Ali bin Abi Thalib As. adalah orang pertama yang memiliki ketauhidan sejati dalam maktab Islam. Hubungannya dengan Rasulullah saw –guru dan pembimbing spiritual tertinggi– sedemikian erat dan dekat sehingga tak diragukan lagi bahwa Imam Ali As adalah bentuk tajalli (manifestasi) dari pribadi Rasulullah dan inkarnasi sempurna ajaran-ajaran Islam.

Imam Ali As hadir dan mendengar langsung pengajaran-pengajaran yang disampaikan kepada Nabi saw sehingga makna-makna wahyu pun tersingkap bagi Imam Ali As., bedanya hanya saja Nabi saw sebagai lawan bicara dan utusan yang ditugaskan menyampaikan risalah sedangkan Imam Ali As. hanya sebagai audiens dan Nabi saw dengan sengaja menyampaikan ajaran-ajaran yang diterimanya langsung dari Allah SWT kepada Imam Ali As. supaya naskah yang didengarnya Amirulmukminin As. sesuai dengan aslinya. Imam Ali As. dalam khutbah qaashi’ah mengatakan:

Dengan melihat dan menyaksikan bagaimana hubungan erat dan dekat Imam Ali As. dan Rasulullah saw, maka bukanlah sesuatu yang aneh jika metode interpretasi dan penafsiran Imam Ali As. ihwal Ilahiyah dalam Alquran sangat menakjubkan, spektakuler dan bahkan tidak pernah terdengar dari salah seorang sahabat pun.
        
Konteks Berteologi di Indonesia : Pengalaman Islam

Dilihat dari pengalaman Islam di Indonesia, konteks berteologi menampilkan kasus yang mungkin cukup bahwa teologi Islam di Indonesia relative konstan, atau tidak menghalami perubahan. Dalam upaya memahami secara lebih akurat konteks berteologi dalam pengalaman Islam di Indonesia, kita harus melihat perkembangan dan situasi historis tertentu yang dihadapi umat muslim sepanjang sejarahnya di kawasan ini. Dari situlah nanti kita akan melihat secara lebih jelas perubahan dan pergeseran baik pada tingkatan konsepsi maupun tingkatan empiris-dalma pandangan teologis kaum muslim Indonesia. Tulisan ini berusaha melacak perubahan dan pergeseran dalam konteks berteologi sebagaimana dialami kaum muslimin di Indonesia, termasuk dalam masa-masa terakhir.


Teologi Predestinasi

Secara historis, aliran teologi Islam yang dominan di Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini adalah aliran teologi asy’ariyah. Aliran teologi as’ariyah tentu saja merupakan aliran utama (mainstream school of theology) yang dalam mahzab ahl al-sunnah wa al jamaah (sunni) yang diikuti mayoritas kaum muslim di buka bumi ini. Selain aliran teologi as’ariyah di dalam madzhab sunni terdapat aliran-aliran teologi lainnya, seperti khususnya aliran mu’tazilah. Tetapi dalam perkembangan sejarah aliran teologi mu’tazilah, yang sangat menekankan pada kebebasan berpikir dan berkarya, setelah tidak lagi menjadi teologi resmi dinasi Abassiyah, kemudian dipandang sebagai semacam ‘teologi sempalan’ dalam tradisi sunni. Ini terlihat dari cukup banyaknya literatur sunni yang mengecam mu’tazilah, sembari mengingatkan kaum muslim untuk tidak ‘tersesat’ mengikuti paham teologis ini.

Berubah Teologis

Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham teologi semacam Asyariah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis anggapan atau argumen itu mungkin besar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi terdapat kenyataan lain, yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut. Sebab itu, kecuali dominannya paham teologi, Asyariah dalam masyarakat sunni secara keseluruhan, terdapat pula kenyataan lain yang perlu diperhitungkan, yakni adanya aktivitisme ditengah dominasi aliran teologis ini disebabkan muncul dan bekerjanya berbagai faktor tertentu yang pada gilirannya menuntut respon teologis baru pula.
Untuk konteks Indonesia, perubahan atau pergeseran dari pandangan teologis Asyariah itu bisa disaksikan terjadi sedikitnya sejak abad ke 18. Penting diketahui, sejak abad ke 17 mulai berkembang paham neosufisme, yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang baru kembali dari menuntut ilmu di timur tengah. Yang paling menonjol di antara ulama ini pada abad ke 17 adalah Nur al-Din al Ranriri, Abd al-Ra’uf Singkili (keduanya menjadi multi di Kesultanan Aceh), dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme yang mereka anut yang telah dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif dan antinomian, sehingga menjadi lebih selaras dengan tuntunan hukum Islam (syariah atau fiqh). Salah satu tema pokok neosufisme adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim melalui aktivitas dan upaya kaum muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan eskatologis.

 

KESIMPULAN

Secara historis, aliran teologi Islam yang dominan di Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini adalah aliran teologi Asy’ariah yang merupakan aliran utama yang dalam mazhab ah-al-sunnah wa al-jama’ah dan yang diikuti mayoritas kaum muslim. Selain aliran Asy’ariyah di dalam mazhab sunni terdapat aliran-aliran teologi lainnya seperti aliran Mu’tazilah yang sangat menekankan kepada kebebasan berfirki dan berkarya

Perubahan atau pergeseran pandangan teologis yang terjadi dalam kalangan kaum muslim Indonesia dapat dikatakan sangat kompleks dan beragama. Beberapa tipologi pandangan teologis kalangan Islam yang muncul dan berkembang dalam beberapa dasawarsa diantaranya:
  1. Teologi modernisme
  2. Teologi transformatif
  3. Teologi inklusivisme
  4. Teologi fundamentalisme
  5. Teologi neotradisionalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar