Ilahiyah
dalam Nahjul Balaghah
Agama Islam merupakan agama yang mengajarkan
ajaran-ajaran Tauhid dan penyembahan pada tuhan yang satu. Seperti yang
diketahui bahwa seluruh ayat-ayat Alquran dalam berbagai aspek pengetahuan
memiliki ciri khas tersendiri dan materi Ilahiyah merupakan salah satu bentuk
ejawantah dari ayat-ayat tersebut.
Kalimat Islam adalah kalimat tauhid dan seruan Islam
dimulai dengan kalimat ini. Seluruh aturan-aturan yang ada dalam Alquran dan
Islam ditujukan untuk supaya manusia mengenal Allah SWT dan hanya menyembah Dia
semata-mata dan tidak menyembah selain Dia serta tidak tunduk dan menyerah
kepada pemerintahan yang bukan berdasar pada aturan Ilahi dan hanya tunduk dan
patuh kepada agama, ajaran, aturan dan syari’at Ilahi. Salah satu bentuk tauhid
adalah pengakuan bahwa hanya Allah SWT yang berhak membuat aturan dan syari’at
dan –selain Dia– tidak ada seorang pun yang berhak dan layak membuat aturan.
Dan barang siapa meyakini dan mengakui bahwa –selain Allah SWT– ada orang
yang layak dan berhak membuat aturan dan hukum, maka orang tersebut telah
dengan transparan menyatakan kemusyrikannya.
Makrifat dan mengenal Allah SWT dalam Islam didasari
dan dibangun serta dilatarbelakangi dengan riset, tafakur, tadabbur dan Alquran
telah berulang-ulang kali mengajak manusia untuk bertafakkur, bertadabbur. Di
dalam Alquran banyak ditemukan ayat-ayat muhkam berkenaan dengan makrifat dan
mengenal Allah SWT, diantaranya adalah:
Qs. Al baqarah ayat 163 dan 164:
Qs. Al an’am ayat 95-97:
Qs. Ar ra’du ayat 3 dan 4:
Qs. Rum ayat 21-23:
Qs. Az zari’at ayat 20 dan 21:
Qs. Al waqi’ah ayat 58 dan 59:
Qs. Al waqi’ah ayat 63 dan 64:
Logika yang digunakan Alquran dalam membahas
persoalan-persoalan Ilahiyah adalah sangat luar biasa, sangat menarik dan tidak
ada satu pun ungkapan seindah ini.
Logika tersebut merupakan sebuah mukjizat yang tak
tertandingi dan telah banyak melahirkan serta mewujudkan monoteis-monoteis
sejati, seperti Hamzah, Ja’far, Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar Yasir, Huzaifah
dan para pejuang-pejuang Islam yang syahid dalam peperangan sepanjang sejarah
Islam. Mereka mengenyam pendidikan dari Islam dengan melalui tahapan-tahapan
dari ilmul yaqin, ‘ainul yaqin kemudian sampai pada tahap haqqul yaqin .
Ali bin Abi Thalib As. merupakan guru teladan Islam
dalam bidang makrifat dan tauhid dan juga beliau adalah murid pertama Nabi
Muhammad saw sekaligus orang pertama –setelah Nabi saw– yang mentauhidkan Allah
SWT. Sejarah dan khutbah-khutbah beliau dalam kitab Nahjul Balaghah telah
membuktikan bahwa tidak ada seorang mukmin pun dalam Islam yang memiliki
ketauhidan yang lebih jelas, murni dan tangguh seperti Imam Ali As. Beliaulah
yang pernah mengungkapkan statemen berikut ini:
“seandainya tirai dan hijab pun dibukakan untukku,
maka keyakinanku pun tak akan bertambah”
Ali bin Abi Thalib As. adalah orang pertama yang
memiliki ketauhidan sejati dalam maktab Islam. Hubungannya dengan Rasulullah
saw –guru dan pembimbing spiritual tertinggi– sedemikian erat dan dekat
sehingga tak diragukan lagi bahwa Imam Ali As adalah bentuk tajalli
(manifestasi) dari pribadi Rasulullah dan inkarnasi sempurna ajaran-ajaran
Islam.
Imam Ali As hadir dan mendengar langsung
pengajaran-pengajaran yang disampaikan kepada Nabi saw sehingga makna-makna
wahyu pun tersingkap bagi Imam Ali As., bedanya hanya saja Nabi saw sebagai
lawan bicara dan utusan yang ditugaskan menyampaikan risalah sedangkan Imam Ali
As. hanya sebagai audiens dan Nabi saw dengan sengaja menyampaikan
ajaran-ajaran yang diterimanya langsung dari Allah SWT kepada Imam Ali As.
supaya naskah yang didengarnya Amirulmukminin As. sesuai dengan aslinya. Imam
Ali As. dalam khutbah qaashi’ah mengatakan:
Dengan melihat dan menyaksikan bagaimana hubungan
erat dan dekat Imam Ali As. dan Rasulullah saw, maka bukanlah sesuatu yang aneh
jika metode interpretasi dan penafsiran Imam Ali As. ihwal Ilahiyah dalam
Alquran sangat menakjubkan, spektakuler dan bahkan tidak pernah terdengar dari
salah seorang sahabat pun.
Dilihat dari pengalaman Islam di Indonesia, konteks berteologi menampilkan kasus yang mungkin cukup bahwa teologi Islam di Indonesia relative konstan, atau tidak menghalami perubahan. Dalam upaya memahami secara lebih akurat konteks berteologi dalam pengalaman Islam di Indonesia, kita harus melihat perkembangan dan situasi historis tertentu yang dihadapi umat muslim sepanjang sejarahnya di kawasan ini. Dari situlah nanti kita akan melihat secara lebih jelas perubahan dan pergeseran baik pada tingkatan konsepsi maupun tingkatan empiris-dalma pandangan teologis kaum muslim Indonesia. Tulisan ini berusaha melacak perubahan dan pergeseran dalam konteks berteologi sebagaimana dialami kaum muslimin di Indonesia, termasuk dalam masa-masa terakhir.
Teologi Predestinasi
Secara historis, aliran teologi
Islam yang dominan di Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini
adalah aliran teologi asy’ariyah. Aliran teologi as’ariyah tentu saja merupakan
aliran utama (mainstream school of theology) yang dalam mahzab ahl al-sunnah wa
al jamaah (sunni) yang diikuti mayoritas kaum muslim di buka bumi ini. Selain
aliran teologi as’ariyah di dalam madzhab sunni terdapat aliran-aliran teologi
lainnya, seperti khususnya aliran mu’tazilah. Tetapi dalam perkembangan sejarah
aliran teologi mu’tazilah, yang sangat menekankan pada kebebasan berpikir dan
berkarya, setelah tidak lagi menjadi teologi resmi dinasi Abassiyah, kemudian
dipandang sebagai semacam ‘teologi sempalan’ dalam tradisi sunni. Ini terlihat
dari cukup banyaknya literatur sunni yang mengecam mu’tazilah, sembari
mengingatkan kaum muslim untuk tidak ‘tersesat’ mengikuti paham teologis ini.
Berubah Teologis
Dalam segi-segi tertentu argumen
bahwa paham teologi semacam Asyariah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam
masyarakat Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis anggapan atau
argumen itu mungkin besar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi
terdapat kenyataan lain, yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut. Sebab
itu, kecuali dominannya paham teologi, Asyariah dalam masyarakat sunni secara
keseluruhan, terdapat pula kenyataan lain yang perlu diperhitungkan, yakni
adanya aktivitisme ditengah dominasi aliran teologis ini disebabkan muncul dan
bekerjanya berbagai faktor tertentu yang pada gilirannya menuntut respon
teologis baru pula.
Untuk konteks Indonesia,
perubahan atau pergeseran dari pandangan teologis Asyariah itu bisa disaksikan
terjadi sedikitnya sejak abad ke 18. Penting diketahui, sejak abad ke 17 mulai
berkembang paham neosufisme, yang disebarkan oleh ulama-ulama Indonesia yang
baru kembali dari menuntut ilmu di timur tengah. Yang paling menonjol di antara
ulama ini pada abad ke 17 adalah Nur al-Din al Ranriri, Abd al-Ra’uf Singkili
(keduanya menjadi multi di Kesultanan Aceh), dan Muhammad Yusuf al-Maqassari
(menjadi mufti di Kesultanan Banten). Neosufisme yang mereka anut yang telah
dimurnikan dari praktek-praktek yang eksesif dan antinomian, sehingga menjadi
lebih selaras dengan tuntunan hukum Islam (syariah atau fiqh). Salah satu tema
pokok neosufisme adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat muslim melalui
aktivitas dan upaya kaum muslim sendiri, tanpa harus menunggu campur tangan
eskatologis.
KESIMPULAN
Secara historis, aliran
teologi Islam yang dominan di
Indonesia sejak perkembangan awal Islam di wilayah ini adalah aliran teologi
Asy’ariah yang merupakan aliran utama yang dalam mazhab ah-al-sunnah wa
al-jama’ah dan yang diikuti mayoritas kaum muslim. Selain aliran Asy’ariyah di
dalam mazhab sunni terdapat aliran-aliran teologi lainnya seperti aliran
Mu’tazilah yang sangat menekankan kepada kebebasan berfirki dan berkarya
Perubahan
atau pergeseran pandangan teologis yang terjadi dalam kalangan kaum muslim
Indonesia dapat dikatakan sangat kompleks dan beragama. Beberapa tipologi
pandangan teologis kalangan Islam yang muncul dan berkembang dalam beberapa
dasawarsa diantaranya:
- Teologi modernisme
- Teologi transformatif
- Teologi inklusivisme
- Teologi fundamentalisme
- Teologi neotradisionalisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar